Menanti Pemimpin Bijaksana Bukan Pemain (2)

Pemimpin dan Pemain
Menurut Muhammad Tholhah Hasan dalam Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Lantabara Press, 2005) menyatakan bahwa pemimpin adalah orang yang mempunyai wewenang, hak untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang yang ditujunya mengikuti tingkah laku, sebagaimana yang dikehendakinya. Mentaati dan mengikuti pemimpin – dalam hukum Islam – hukumnya wajib. Tegak atau tidak hukum positif ditentukan oleh “kepemimpinan”. Seluruh keturunan Adam, mustahil akan mencapai kemaslahatan yang optimal, jikalau tidak ada perkumpulan yang sifatnya mengikat dan memecahkan problem. Dalam kondisi ini dibutuhkan pemimpin.
Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah fî al-Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah (Dar Alim al-Fawa’id) menyatakan “mahluk yang paling dicintai Allah adalah imam pemimpin yang adil, sedangkan yang paling dibenci adalah pemimpin yang zhalim”. Pemimpin yang zhalim dalam situasi saat ini, dinamakan “pemain”. Pemimpin ideal yang harus dipilih dalam setiap pemilihan adalah tunduk dan patuh kepada Allah, tidak membohongi masyarakat (Qs. Ali Imran/3: 104) dan mengoptimalkan sikap adil (Qs. al-Nisa/4: 58), dan masyarakat juga dituntut taat kepada pemimpin (Qs. al-Nisa/4: 59). Dalam  konsepsi ayat tersebut adalah tentang ketaatan pada pemimpin, bukan konsepsi kenegaraan sebagaimana diwacanakan oleh kalangan Hizbut Tahrir Indonesia.
Dalam kondisi apapun, pemimpin sangatlah penting. Inilah penegasan kalimat Ibnu Taimiyah sebelumnya, bahwa “enam puluh tahun dari kehidupan seorang pemimpin yang zhalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa adanya pemimpin”. Zhalim yang dimaksud disini adalah pemimpin yang di dalam kepemimpinannya tidak berlaku adil, pemimpin ini berwajah pemain. Berjubah pemimpin namun berkarakter pemain, ia sedang memainkan masyarakat dengan wewenang yang dimilikinya. Artinya, kebolehan memilih pemimpin zhalim dikala ketiadaan pemimpin yang bijaksana. Selama ada pemimpin yang sejalan dengan nilai-nilai ke-Islam-an dan tidak merugikan umat Muslim maka dia boleh dipilih.
Catatan dalam naskah Sanghyang Hayu (Sunda) di dalam diri pemimpin harus terdapat prinsip-prinsip “astaguna” atau delapan kearifan. Pertama, animan (lemah lembut); Kedua, ahiman (tegas). Ketiga, mahiman (berwawasan luas). Keempat, lagiman (gesit, cekatan dan terampil). Kelima, prapti (tepat sasaran). Keenam, prakamya (ulet dan tekun). Ketujuh, isitna (jujur) dan kedelapan, wasitwa (transparan dan terbuka untuk dikritik).
Kepentingan masyarakat harus lebih di dahulukan daripada kepentingan pribadi pemimpin. Sebagaimana kaidah Fikih, yang tertuang dalam kitab al-Qawaid al-Fiqhiyah (2001), kehadiran pemimpin untuk memberi dan menerapkan kebijakan yang berskala besar dan maslahat umat, bukan hanya kepentingan golongan, partai dan bahkan kolega pribadi.
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah harga mutlak untuk dijalani oleh seorang pemimpin di Indonesia. Kalau prinsip kepemimpinan dan tujuan kesejahteraan rakyat tidak sejalan dan beriringan, maka ancamannya adalah kerusakan di segala bidang, dan murka Allah akan turun kepada bangsa-negara tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
Kalau sekiranya kebenaran tunduk kepada kehendak hawa ¬nafsu mereka, niscaya rusaklah semua langit dan bumi dan segala apa yang ada di dalam¬nya. Bahkan Kami berikan ke¬pada mereka itu al-Quran untuk kehormatan sebutan mereka, namun mereka tetap berpaling dari kehormatan itu (Qs. al-Mu’minun/23: 71).
Dari beberapa dalil yang tertera di atas, ada tiga poin penting yang harus dijalankan oleh pemimpin, yakni: pertama, kebijakan yang bermuara pada kemaslahatan umat (rakyat). Kedua, amar makruf dan continual improvment. Tindakan ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik di Indonesia. Ulama dan Umara lebih banyak berada pada aspek reaktif ketimbang antisipatif. Termasuk dalam menjalankan ideologi Pancasila, perubahan undang-undang yang sudah terjadi empat kali, lebih kepada reaksi segelintir orang, di dominasi oleh kepentingan dan membongkar apa yang tidak disukai dari pemimpin sebelumnya. Ibaratnya, orang yang sedang menyiangi rumput yang tumbuh disekitar padi, padinya ikut tercabut. Optimisme yang tidak didasari oleh semangat kebangsaan dan ke-Ilahi-an akan mengakibatkan pada tindakan yang semen-mena. Akhirnya, sampai saat ini pergantian pemimpin terus terjadi, tapi masyarakat Indonesia belum memanen. Lebih kepada selera individu – sebagai perubah – bukan selera bangsa dan ideologi itu sendiri.
Ketiga, beriman. Firman Allah dalam Qs. al-A’raf/: 96 sejalan dengan butir Pancasila. Pemimpin yang dipilih harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Fondasi ini sangat menentukan dalam setiap kebijakan dan tindak lakunya. Indonesia bukanlah negara sekuler, yang memisahkan agama dan negara, dan juga bukan negara agama yang memformalisasikan nilai-nilai agama, tetapi negara yang bukan keduanya. Tingkat keimanan pemimpin dan masyarakat, akan menentukan kualitas sebuah bangsa. Banyak bangsa yang terdapat di dalamnya, masyarakat yang tidak beriman, pada suatu hari akan memakan balon yang dilempar oleh mereka, dan meminta pertanggungjawaban kepada orang yang melempar balon itu, termasuk balon sekularisasi dan liberalisasi. Wallahu a’lam bi al-Shawȃb.

*Penulis adalah Mahasiswa        Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama & Pengurus Komunitas Kajian Nusantara.
Share on Google Plus

About Unknown

Komunitas Budaya Islam Nusantara (KubuISNU) adalah komunitas yang melestarikan budaya Islam di Nusantara demi perdamaian umat manusia.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar