Menanti Pemimpin Bijaksana Bukan Pemain (1)

Oleh : Farouk Hamdi*


Hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia saat ini, sedang mengalami kemerosotan sosok wakil Tuhan, wakil Tuhan yang mampu menjadi penyambung lisan rakyat. Rakyat bertahun-tahun lamanya, menunggu pemimpin yang mampu membawa dan menerapkan nilai-nilai agama, dalam tindak laku dan perbuatannya. Pemimpin tidak saja dalam arti fisial, yang hadir setelah terpilih dalam ruang sistem demokrasi, namun menjadi suri tauladan bagi rakyatnya, acuan kehidupan dalam bernegara dan berbangsa.
Pemimpin yang sampai pada “hikmah” akan mengalami kehidupan yang tenang pada kelak hari. Hikmah ilmu hukum adalah keadilan, hikmah ilmu ekonomi adalah pemerataan kepada seluruh elemen masyarakat, bukan mengisap aset dibawah ke atas, melainkan dari atas ke bawah. Hikmah ilmu politik adalah penerapan kebajikan pada setiap perangai selama menjadi politikus Negara, hikmah ilmu agama adalah kebaikan tertinggi yang wujud dengan kongkrit, hikmah ilmu sosial adalah kemanusian yang adil dan beradab. Jikalau semua pemimpin dan pejabat negara sampai pada hikmah-Nya, keberkahan hidup menyertai dirinya. Maka masyarakat akan mudah dipandu, tanpa paksaan dan kritikan tajam yang dilontarkan rakyat pada seorang pemimpin.
KH. Wahid Hasyim dan KH. Hasyim Asy’ari adalah dua tokoh fenomenal, diantara pelbagai tokoh ternama lainnya, yang kehadirannya di masyarakat sangat dinanti-nantikan. Kewibawaan dan ilmu yang dimilikinya sampai pada titik hikmah, membuat dirinya dirindu-rindukan, dielu-elukan masyarakat. Dalam catatan sejarah, pada saat itu justru kebanyakan masyarakat menanti dan berbondong-bondong ke tempat area, dimana keduanya akan berceramah dan berpidato. Saat ini fenomena demikian sangat sulit di dapatkan.
Pemimpin datang ke sebuah daerah bersama timnya, masyarakat justru meminta uang dan menagih janjinya yang belum terlaksana. Kondisi saat ini, diamnya seseorang dalam percaturan politik mampu dibayar oleh seorang politisi dan sejenisnya. Ilmu hikmah sangat jarang kita temui pada pemimpin-pemimpin negara saat ini.
Di satu sisi, tingkat keharmonisan ulama dan umara, tidak sekondisif dan seintensif pada zaman dahulu. Ulama dalam kapasitasnya sebagai pemuka agama, membantu gejala-gejala tindakan negatif atau upaya preventif ketika tindakan dan kelompok memiliki niat untuk merong-rong rajutan tali negara yang sudah mapan, rajutan yang diikat oleh ideologi Pancasila. Dan negara dalam kapasitas ini, membantu upaya ulama dalam menjaga stabilitas negara, dengan memperhatikan kehidupan ulama.

Ulama dalam konsepsi idealnya, tidak boleh menjauh dari negara dan pemerintahan. Adagium terkenal Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa “carilah ilmu dan harta supaya kamu bisa memimpin. Dengan ilmu engkau akan memudahkanmu memimpin orang-orang yang berada di atas. Sedangkan harta, memudahkanmu memimpin orang-orang yang berada di bawah”. Adagium ini benar, ulama dengan otoritas dan kapasitas intelektualitasnya selalu menjadi penerang pejabat negara, mengontrol dan menasehati pejabat-pejabat yang terindikasi keluar dari jalur dan rel yang sudah ditetapkan. Sedangkan negara, memberdayakan ulama dengan memberikan bantuan kehidupan. Ulama adalah orang yang takut kepada Allah (khasyatullȃh). Merasa cukup di dalam kecukupannya, tidak mau menampakkan kekurangan yang dimiliki. Mereka mengabdikan diri kepada umat tanpa pamrih dan mengajukan proposal. Kepekaan pemerintah dalam kondisi seperti ini, harus ditingkatkan. 

Ulama dengan adanya wadah negara, mampu memberikan ilmu yang dimilikinya. Keberlangsungan dan negara kondisif sangat mempengaruhi mutu pendidikan di sebuah negara, termasuk pesantren. Tanpa situasi ini, maka seluruh elemen pendidikan, tidak berjalan dengan sempurna dan ideal. Baca Selanjutnya....
Share on Google Plus

About Unknown

Komunitas Budaya Islam Nusantara (KubuISNU) adalah komunitas yang melestarikan budaya Islam di Nusantara demi perdamaian umat manusia.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar