Manusia Tidak Berdaya Saing


Oleh : Saifudien Djazuli

Manusia tidak sepatutnya untuk bersaing, berkompetisi dan berdaya saing, tapi alangkah baiknya setiap manusia melakukan yang lebih baik sesuai kemampuannya tanpa bersaing. Karena persaingan menumbuhkan jiwa permusuhan dan menghancurkan perdamaian. Apakah manusia memiliki potensi daya saing? Manusia adalah pemimpin semua makhluk di muka bumi. Manusia juga dibekali dengan jiwa survivality, agar dapat bertahan hidup dengan alam sekitarnya. Akan tetapi, seiring waktu pertahanan hidup manusia ini sering disalahartikan dan disalahgunakan.
Siang itu mas Tono duduk santai sambil membaca buku, buku tentang agama kayaknya, sambil berjualan buku-buku baru dan bekas. Mastono berjualan buku dari pagi sampai jam 20.00 WIB. Lapak mas Tono dibanding dengan lapak-lapak yang lain sedikit berbeda, buku barunya sedikit dan lebih banyak buku lama. Mas Tono mengurangi buku baru, karena satu alasan yaitu kejujuran. Saya tidak mau berdagang dengan curang, buku baru disini banyak diambil lewat “belakang”, sehingga keuntungannya berlipat-lipat, saya sudah taubat tidak mau dagang buku seperti itu lagi, ukap pria yang lebih suka membantu Ibunya yang tua renta.
Semenjak memutuskan tidak jualan buku online lagi, dia memutuskan untuk jualan seadanya dan sejujurnya, sambil membawa dagangan goreng-gorengan milik ibunya tercinta. Tiap pagi ibu itu sering goreng kacang, kacang polong dan macam-macam kripik, ya sudah diniati bantu ibu, sekalian saya jual disini dan alhamdulillah setiap hari sisa sedikit alias laku, malah orang sering nanyain kalau pas kehabisan. Kok lebih laku dagangan ibuku daripada dagangan bukuku, dalam benakku, cerita Mas Tono sambil tersenyum, senyum kebahagiaan. Meski sekarang pendapatan dari berjualan buku tidak seperti dulu, tapi mas Tono merasa senang dan tenang serta bahagia melihat Ibunya yang tekun dan senang. Saya berjualan buku disini, bukan untuk bersaing sama yang lain, ya buku saya Cuma ini saja, kalau ada orang suruh cari buku yang tidak saya jual, saya carikan ke yang lain, rezeki itu sudah ada yang ngatur, tidak usah khawatir, lanjut Mas Tono disela-sela ia membersikan buku-buku yang berserakan.
Manusia untuk mencapai kesetaraan, kedaulatan dan kemerdekaan dirinya terkadang menempuh berbagai cara untuk mencapainya, salah satunya dengan bermain “belakang”, curang alias tidak jujur. Apa yang dilakukan Mas Tono di atas adalah prilaku sebagian kecil orang di negeri ini, sebagian besarnya mungkin lupa. Sebagian kecil tadi adalah rakyat kecil yang setiap hari berjibaku mencari sesuap nasi cukup untuk bertahan hidup di tengah-tengah orang yang berlebih. Setiap orang pasti mempunyai “keinginan”, akan tetapi mereka melupakan bahwa tidak setiap keinginannya sesuai dengan kebutuhannya. Kebanyakan orang masih split oriented terhadap keinginan dan kebutuhan. Apa yang mereka butuhkan belum tentu menjadi keinginannya, begitu juga sebaliknya.

ANTARA KEINGINAN DAN KEBUTUHAN
Manusia adalah makhluk hidup. manusia adalah makhluk yang mempunyai kebutuhan. Kebutuhan untuk bertahan hidup dan alam semesta sudah menyediakannya. Kebutuhan makan, minum, tempat berlindung dan kebutuhan seksual. Manusia adalah hewan yang dapat berbicara “al khayawanu al nathiq”. Manusia juga mempunyai akal yang luar biasa daripada hewan umumnya. Selain akal manusia juga dibekali jiwa spiritual “ruh” yang teraplikasikan dalam hati dan perasaan. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhannya dan memanfaatkan alam sekitarnya, sudah sepatutnya manusia menggunakan seluruh elemena nurtural dan natural yang ada padanya.
Kemampuan berlebih pada manusia membuat kebutuhan hidupnya pun berlebih tidak seperti hewan kebanyakan.  Tetapi terkadang manusia akan lebih buas dari seluruh hewan yang ada di alam ini, meminjam istilah RDP “Homo Reptilicus”, dimana setiap orang dapat memunculkan sisi ke”reptile”annya, itulah hawa nafsu. Bukannya nafsu ini tidak dapat dikontrol oleh manusia, tapi untuk mengontrol nafsu manusia membutuhkan tenaga ekstra dan cenderung absurd. Nafsu merupakan embrio dari rasa keingintahuan dan keinginan manusia.
Salah satu pemicu tidak terkendalinya kebutuhan hidup manusia adalah hawa nafsu (keinginan). Nafsu untuk memiliki dan menguasai segalanya. Manusia lupa bahwa sebenarnya yang harus dikuasai adalah nafsunya. Manusia juga lupa menggunakan fasilitas “kelupaannya” pada hal-hal yang seharusnya dia lupakan. Apa yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan untuk bertahan hidup. Keinginan ini semakin menjadi-jadi dengan kemajuan teknologi (modernisasi), industrialisasi, kapitalisasi yang notabene belum tentu dibutuhkan oleh manusia dalam arti kebutuhan hidup sesungguhnya.
Manusia itu makhluk berkebutuhan, bahkan manusia cacat identik dengan istilah berkebutuhan khusus. Apa yang sebenarnya dibutuhkan manusia? Manusia sejak dalam kandungan sudah membutuhkan sari makanan yang sudah disediakan alam, ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, dsb. Kemudian manusia lahir ke dunia, pertama kali yang ia butuhkan adalah air susu ibu. Ketika dia merasa lapar dan butuh makanan, maka cukup dengan tangisan. Ya untuk bertahan hidup cukup dengan air susu ibu, bukan gaget, televisi, rumah, dll, melainkan cukup dengan sekedar tangisan meminta perhatian. Tapi rengekan tangisan itu, berubah dengan keinginannya, menangis karena tidak dibelikan gaget atau handphone terbaru.
Seiring dengan pertumbuhannya, manusia membutuhkan makanan dan tempat berlindung. Akal yang dimiliki oleh manusia secara lahiriah menjadi pembeda dari makhluk lainnya. Dengan akal, manusia mulai membaca dan mengidentifikasi hal-hal disekitarnya, bahkan akal manusia dapat melakukan hal tersebut sejak dalam kandungan. Akal kemudian berkembang kemampuannya untuk membedakan mana yang baik dan buruk untuk manusia. Pembedaan ini mulai dari hal sederhana, pengamatan dan percobaan dengan bantuan panca indra. Apa yang dirasa baik, akan terus dilakukan dan apa yang menurut akal buruk, mengancam eksistensi manusia tidak dilakukan atau dihilangkan.
Proses membaca dan mengindetifikasi alam sekitarnya kemudian membentuk keinginan-keinginan, terkadang dapat direalisasikan dan kadang tidak dapat direalisasikan. Keterbatasan manusia membuat manusia butuh manusia lain untuk membantu merealisasikan keinginan. Ketika sekumpulan manusia berkumpul saling membantu merealisasikan keinginan, kemudian tetap tidak tercapai maka muncullah “kepercayaan” atas sesuatu diluar manusia, sesuatu yang lebih hebat yang dapat merealisasikan keinginannya.

KEPERCAYAAN KEPADA YANG GHAIB
Percaya atas “keber-ada-an yang ada” membawa manusia manusia kealam bawah sadar atau dimensi metafisika dan spiritual. Metafisika merupakan segala sesuatu yang ada di balik fisik, keadaan atau kauniyah. Manusia diberikan akal dan nalar yang merupakan kelebihan manusia dengan makhluk lainnya. Akal dan nalar ini mempunyai tugas untuk membaca, merenungi, mengahayati, mestrukturkan, menyakini dan mempercayai kepada hal-hal yang bersifat metafisika. Sampai saat ini masih terdapat dua teori besar tentang penciptaan alam semesta, pertama teori yang menyakini bahwa alam semesta tidak muncul dengan sendirinya. Kedua, alam semesta muncul dengan sendirinya atau terjadi begitu saja dan bersifat abadi.
Teori penciptaan alam semesta yang pertama membawa manusia untuk berpikir bahwa “ada” keterlibatan  Sang Pencipta alam, Sang Yang Widhi, Yang Maha Esa dalam penciptaan alam semesta seisinya. Sifat percaya manusia, pertama ditunjukkan atas ketidakmampuan mewujudkan keinginannya, maka perlu meminta bantuan kepada yang lebih dan lebih perkasa darinya dan berujung kepada Tuhan. Pada mulanya Tuhan didefinisikan seperti alam sekitarnya, api, berhala, matahari, kemudian kekuatan Tuhan mulai tidak terdefinisikan. Inilah ungkapan Mas Tono ditengah ketidakberdayaannya tadi di atas bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Tuhan selalu terlibat dalam setiap gerak langkah dan pilihan manusia.
Bangsa Negeri ini sudah sejak dari dahulu ribuan tahun sebelum masehi juga mengalami hal serupa dalam diri spiritualitasnya. Sesungguhnya bangsa ini memiliki karakter spiritual dalam gerak laku hidupnya, sampai sekarang. Saat ini, masih dapat kita jumpai pohon keramat, kuburan keramat, sumur keramat, tempat bertapa keramat, goa keramat dan sebagainya. Fakta bahwa bangsa ini mempunyai karakter spiritual dengan sendirinya membawa akal dan jiwa manusia menghargai, menghormati dan memanfaatkan alam sekitar seperlunya, bangsa ini hidup dekat dengan alam sekitarnya.
Pada masa awal kerajaan-kerajaan di nusantara tumbuh dan berkembang tidak memerlukan bangunan megah bagi sebuah kerjaaan. Kerajaan Kalingga Jepara diceritakan hanya terbangun dari rangkaian pelepah kelapa, daun kelapa dan sedikit batu bata seadanya. Di negeri maritim dengan jiwa kebahariannya tidak ada bangunan megah pada masa awal sebuah kerajaan dengan masyarakatnya yang open society. Dikota metropolutan seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, peninggalan sejarah lama, terdiri dari bangunan-bangunan eropa disana-sini.
Kehidupan spiritual ini juga membawa manusia untuk menyakini dan mempercayai ada sesuatu yang manusia tidak ketahui, ada kekuatan lain di sisi manusia dan adanya sang Pencipta jagad raya. Setelah manusia mempercayai yang ghaib itu ada di sekelilingnya, maka secara naluriah manusia akan berkerja menguasai ilmu pengetahuan, membaca alam sekitar, merenungi ciptaan Sang Pencipta dengan menggunakan instrumen yang ghaib juga dalam dirinya, yaitu jiwa, hati dan perasaan (akal budi), tidak hanya sekedar menghandalkan akal atau logika material semata. Cara kerja seperti ini sedikit demi sedikit akan membangun sebuah per-adab-an baru dalam diri manusia. Sebuah adab yang memandang segala sesuatu dalam dimensi materiil dan spirituil secara bersamaan. Adab yang dapat mengenal jati diri manusia sejati dan memanfaatkan “DNA primodial” nya secara maksimal. Di sisi lain manusia terbatasi pada sesuatu di luar dirinya  yang belum tentu dapat dikuasainya yaitu ruang dan waktu.


PERSAINGAN DAN KERJASAMA
Penciptaan manusia tidak dilengkapi dengan persenjataan seperti hewan lainnya, taring, kuku tajam, bisa beracun dan sebaginya yang dapat membunuh lawannya secara perlahan maupun seketika. Tetapi dengan akal pikiran manusia dapat menciptakan persenjataan  yang melebihi persenjataan alamiah tersebut. Manusia diciptakan sebagai pemimpin semua makhluk, bukan untuk mengalahkan atau membunuh makhluk lainnya, karena manusia tidak memiliki senjata alamiahnya, tapi untuk membimbing makhluk lainnya tidak terkecuali manusia lain dengan keterbatasannya masing-masing.
Apabila nafsu hayawaniah dan akal pikiran atas keinginannya yang hanya berkerja, maka yang terjadi adalah hal pertama, dimana manusia akan menciptakan persenjataan terkuat sejauh ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Tapi, kalau manusia melibatkan jiwa spiritualnya berkerja bersama-sama dengan nafsu dan akal pikiran, maka yang terjadi adalah fitrah sejati manusia sebagai pemimpin, minimal memimpin dirinya mencapai diri yang ber-adab, tentu dengan keterbatasan ruang dan waktu yang ada. Keterbatasan ruang dan waktu merupakan ujian yang harus dijalani oleh manusia untuk memperoleh kesadaran akan keberadaan dirinya.
Tempat tinggal manusia, bumi dibagi menjadi dua bagian, lautan dan daratan, sebgian besar lautan atau air. Manusia yang tinggal di tepi lautan (front water city) atau ditengah-tengah lautan (island) dapat mengenal, mengerti dan memanfaatkan lautan untuk memenuhi kebutuhannya selain daratan yang ditinggalinya. Berbeda dengan manusia yang tinggal di daratan yang tidak memiliki lautan, maka dia dengan sendirinya akan menggunakan daya dan upaya segala yang ada di daratan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam perkembangannya, pola pemenuhan kebutuhan hidup manusia antara bagian bumi satu dan lainnya berbeda sesuai alam sekitarnya. Kemudian muncul istilah “manusia bahari” bagi manusia yang tinggal di pesisir lautan dan kepualauan. Dan “manusia kontinental” bagi manusia yang tinggal di daratan tanpa mengenal lautan. Dua jenis manusia ini kemudian menciptakan dua peradaban (cultural knowledge) yang berbeda juga, yaitu adab bahari dan adab kontinental.
Seiring berjalannya waktu, adab bahari melahirkan kultur kerjasama atau gotong royong, sedangkan adab kontinental melahirkan kultur persaingan (competition). Dua kultur yang berbeda tersebut lahir dari sifat dasar manusia yang sama, yaitu sebagai makhluk sosial, dimana manusia saling membantu memenuhi kebutuhannya. Perbedaan dua kultur semakin tajam, ketika keinginan dan kepentingan turut andil didalamnya. Kultur persaingan membuat manusia selalu mempunyai keinginan untuk mengalahkan manusia lainnya dan berujung kepada dominasi, konglomerasi, feodalistik, monarkhi absolut dan tindakan sewenang-wenang untuk mencapai tujuan. Paradigma ini terjadi, ketika kehidupan didaratan mengalami krisis pangan atau tanah yang ditinggali sudah tidak lagi subur dan tidak dapat mengahsilkan bahan pangan, akhirnya manusia kontinental melakukan ekspansi (expantion) guna memenuhi stock kebutuhan hidupnya. Bagi manusia kontinental segala ukuran kehormatan (prastice), kekayaan dan kekuasaan diukur dari besar kecilnya stock.
Berbeda dengan kultur kerjasama yang membuat manusia berkerja dan tumbuh bersama tanpa rasa saling mengalahkan, akan tetapi saling membantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bersama-sama membuat kapal, mendirikan rumah, mendayung mencari nafkah dan membagi hasil tangkapannya dengan lumrah. Ketika kebutuhan di daratan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dia dapat pergi ke lautan sebagai alternatif sumber kehidupannya, bahkan manusia yang tinggal di kepulauan, lautan adalah sumber utama kehidupan. Jadi tidaklah mengherankan apabila di negeri ini memiliki jalur pelayaran tua 2000 tahun sebelum masehi. Pelayaran tersebut kemudian berubah menjadi pertukaran kebutuhan dan perdagangan, sampai sekarang.

EPILOG
Dari pemaparan di atas, sebenarnya secara lahiriah manusia tidak mempunyai daya saing akan tetapi mempunyai kerjasama (kerjo bareng). Kemampuan kerjasama ini yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial. Keterbatasan ruang dan waktu adalah problematika tersendiri, disinilah ujian manusia untuk mengingat keterbatasannya.  Keterbatasan ruang dan waktu sampai saat ini masih coba dikalahkan oleh manusia, tapi para scientist kewalahan dengan sendirinya. Semakin luas alam semesta yang ditemukan, maka semakin jauh dan lama pengetahuan materiil itu diperoleh. Paradigma baru akan muncul ketika melibatkan sumber daya spiritual (ghaib) dan DNA primodial dalam proses berpikir manusia.

Dalam sejarah negara bangsa, setiap bangsa ingin merdeka dari segala macam penindasan, pemaksaan dan kesewenang-wenangan. Akan tetapi perlu dingat bahwa kemerdekaan manusia atas “pilihan” hidupnya tetap ada batasan secara ilmiah dan alamiah dari Sang Pencipta alam semesta.  Batasan ini diciptakan, bukan untuk menjajah atau menindas, tetapi hanya sekedar “mengingatkan” manusia akan posisinya dan adanya kekuatan lain di luar diri manusia. Batasan ini juga membimbing manusia yang merdeka dalam arti sesungguhnya sebagai Manusia dari segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia bukan oleh-Nya. Wallahu’alam bi Showab ...
Share on Google Plus

About Unknown

Komunitas Budaya Islam Nusantara (KubuISNU) adalah komunitas yang melestarikan budaya Islam di Nusantara demi perdamaian umat manusia.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar